Wednesday, April 27, 2011

Digoreng dengan pasir: lima perak sebungkus

SETIAP HARI  Athaya berbekal uang 2000 rupiah. Selalu saya beri, walau pun dia saya bekali juga kue dan teh manis, atau kadang bahkan nasi dan lauk seadanya. Sebabnya karena dia selalu ingin mengunyah. Mungkin terdorong tuntutan tumbuh anak kelas satu SD. Supaya agak aman, saya selalu pesan wanti-wanti: Abang jajan di kantin ya. Jangan di  luar pagar sekolah. Tapi karena biasanya jajanan luar pagar selalu lebih menarik, saya putuskan untuk melihat, ada apa saja yang dijajakan. Supaya bisa memberi peringatan dengan akurat.

Ternyata jajanan untuk anak SD sudah berkembang jauh. Sewaktu SD, bubar sekolah saya biasa membeli mpek-mpek kapal selam dan es campur, ditambah comro atau bala-bala, masing-masing lima. Niatnya: untuk menemani buku baru Lima Sekawan, setelah makan siang yang biasa. (Yang biasa itu adalah: nasi, sayur asem, ikan mujair goreng kering, sambal terasi dan pisang. Atau tomat--saya paling suka tomat yang pantatnya masih kehijauan. Manis dan berair.)

Mpek-mpek dan es campur saya harganya seratus rupiah. Comro dan bala-bala, dua puluh lima rupiah. Dari uang jajan hari itu, saya masih punya tujuh puluh lima rupiah. Itu cukup untuk membeli es krim Polar Bear rasa kelapa, lima puluh rupiah, dan arumanis merah jambu yang meleleh di lidah, dua puluh lima rupiah. Atau es cincau hijau dengan sirup merah yang kuahnya santan betulan. Atau, bisa juga, sebungkus sukro yang diberi sambal hingga warnanya merah pekat. Pulang sekolah lantas benar-benar jadi acara santai yang menyegarkan...duduk bertelekan di meja makan, tangan kiri memegangi Lima Sekawan: Rahasia Harta Karun, mulut sibuk menghirup kuah cincau atau mengunyah bala-bala. Sedap! (Buku Rahasia Harta Karun saya masih menyimpan noda merah muda dari kuah es cincau yang tercecer sedikit--saya ingat, saya menyesal sekali karenanya).

Itu waktu kelas empat. Masa SD memang penuh dengan citra boga.

Kesedapan tidak berhenti sampai di situ. Setiap Senin dan Kamis sore saya les kung fu Shaolin di sebuah GOR dekat sekolah. Mama yang mendukung, soalnya beliau penggemar kung fu. Latihannya cukup berat untuk ukuran anak SD. Biasanya peluh sampai bercucuran seperti habis macul. Capek dan haus, merapat di dinding, dekat pintu keluar, ada seorang perempuan separuh baya bertubuh gemuk yang menunggui sebuah meja berisi gelas-gelas teh manis panas dan satu nampan gorengan: pisang yang manis dan harum, singkong yang pulen, comro pedas dan gurih, bala-bala, misro, gandasturi, sukun. Harganya dua puluh lima rupiah sekerat. Teh manis lima puluh. Kami, saya dan dua adik lelaki, biasanya dibekali uang seratus rupiah. Dan itu artinya kami bisa pesta di meja "Ibu Kantin", setiap kali Sifu menepuk tangan tanda jeda latihan. Teh manis yang mengepul itu enak sekali; rasanya saya tak pernah lagi menemukan teh seenak itu.

Mundur lagi ke belakang, di TK, dari serambi kelas saya biasa memandang ke arah kantin, kepada bungkusan-bungkusan kerupuk merah jambu sebesar jempol lelaki dewasa. Menggembung menggiurkan, tengahnya berlubang. Rasanya bukan asin atau manis, tapi gurih yang bikin ketagihan, entah apa bumbunya. Yang jelas bukan vetsin. Pertama kali makan, saya kaget menemukan "kres kres" di antara kunyahan. Ternyata kerupuk-kerupuk yang lumer di mulut itu digoreng dengan pasir! Ajaib, pikir saya waktu itu. Setahu saya kerupuk hanya digoreng dengan minyak kelapa--cairan bening yang kalau pagi membeku menjadi gumpalan putih karena suhu subuh Bandung waktu itu masih 18 derajat. Tapi ternyata bukan hanya kerupuk lezat itu yang digoreng pasir. Masih ada kacang, dan opak. Dua-duanya juga enak. Harganya lima perak sebungkus. Saat SD, lima perak bisa membelikan gula-gula hijau dan merah yang ditauh dalam rodong kaca di warung milik bangsa Palembang di dekat rumah, dapat tiga untuk sekeping logam bergambar burung dan angka lima itu. Juga es sirup di dalam freezer kulkas di dekat karton-karton susu.

Waktu itu karton susu bentuknya segi tiga. Ada gambar arbei gendut untuk rasa arbei, sapi hitam putih untuk rasa plain, dan batangan kakao untuk rasa coklat. Yang coklat itu rasa kakaonya sangat lekat, berbeda dengan yang sekarang, yang meninggalkan selapis rasa tebal di lidah. Mereknya juga hanya satu, iklannyha di TV adalah sepasang bocah menyedot dengan rakus, dilatar belakangi sapi di padang rumput. Air bening juga masih dalam botol kaca--yang mereknya kini jadi nama generik untuk air minum kemasan. Iklannya menarik sekali, perjalanan setetes air yang jatuh dari awan hingga masuk ke dalam botol.

Saya ingat, saya pernah sengaja tidak jajan selama seminggu agar bisa membeli sekaleng kornet. Saya ini setan kornet. Digoreng dengan bawang dan petai. Aduh, surga. Nah, waktu itu, tidak jajan seminggu berarti punya uang lima ratus rupiah. Diakhir minggu saya bernyanyi-nyanyi kecil pergi ke warung Palembang, pulangnya meminta pembantu membuat kornet goreng dengan petai.

Saya juga tidak jajan selama sepuluh hari sebagai persiapan ke toko buku. Diantar abang sepupu yang sudah SMP, saya membeli buku yang judulnya langsung menarik mata. Lima Sekawan: Di Pulau Harta. Buku pertama dari rangkaian seri Lima Sekawan yang kemudian menjadi serial favorit saya. Harganya sembilan ratus. Saya punya seribu lima ratus. Lima ratus untuk buku Cendawan dan Jamur, dari seri Pustaka Dasar. Sisanya saya belikan kesukaan saya yang dijajakan di emper toko buku Gramedia, selalu mengepulkan uap hangat dan harum: bakpauw ayam.

Dengan uang jajannya yang dua ribu rupiah, Athaya biasanya membeli wafer atau kue keju kering, seribu rupiah sebungkus. Seribu lagi, karena anak lelaki selalu haus, biasanya dia belikan teh dalam gelas. Hanya itu.  Tak ada pesta teh manis dan pisang goreng, atau novel detektif yang jagoannya anak-anak. Athaya hanya bisa memanjakan diri dengan sekali-sekala membeli stik eskrim yang diberi gambar tempel Bal Ganesha atau Naruto, untuk bermain hentak-stik di lantai selasar kelas, seperti yang ditularkan Upin dan Ipin. Stik kurus itu harganya seribu rupiah sebatang. Begitu juga parasut dan orang-orangan dari plastik, atau butir-butir bakso tapioka yang diberi kecap dan sambal. Es krim harganya dua ribu. Batagor mulai dari seribu sampai lima ribu.

Selesai survey jajanan luar pagar di sekolah Athaya, saya tertegun. Kisaran jajanan luar pagar itu adalah "ribu". Tidak ada yang "perak" seperti mpek-mpek dan es sekoteng saya. Dengan cepat saya menghitung dalam hati: sepuluh, dua puluh, tiga puluh, ya, tiga puluh tahun telah berlalu. Kerut kening karena prihatin berubah menjadi senyum asam. Sudah terlalu lampau waktu lewat. Masa kini adalah milik generasi Athaya. Mereka tidak mengenal es krim Polar Bear rasa kelapa. Juga tidak tahu bahwa pasir bisa membuat kerupuk mengembang lezat. Tapi waktu memang berjalan terus. Seperti bola besi di atas alas karet--dan dia tidak kembali lagi. Maka tinggallah kepingan besar bergambar burung dan angka lima sebagai benda antik di dalam koleksi numismatik saya.


27 april 2011
12:48 AM

1 comment:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete