Sunday, March 27, 2011

Kedua Ibu dan Bapakku

Suatu kali saya pernah benci mendengar doa. Sakit rasanya mendengar doa itu terus menerus dikumandangkan. Apalagi, yang mengucapkannya adalah anak saya si buyung, yang saya harapkan dengan sepenuh hati kelak akan tumbuh menjadi lelaki sejati. Tapi hari demi hari saya harus meringkuk menahankan tusukan-tusukan itu, sementara saya duduk menemani si buyung di kelas TKnya.
Doa itu adalah doa untuk kedua orangtua.

Kedua ibu guru anakku mengulang-ulangnya untuk kelasnya: ampunilah dosa kedua ibu dan bapakku, serta sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku saat kecil dulu. Lalu suara polos anak-anak mengikuti. Di antaranya suara pelo si buyung.
Sampai saat itu saya tidak pernah merasa bahwa saya punya hak atas doa itu. Saya bukan ibu si buyung. Bahkan ketika kedua ibu guru bicara dengan kami orangtua, menggunakan istilah “mama-mama sekalian”, saya tahu saya tidak berhak. Karena ada perempuan lain yang dipanggil Mama oleh si buyung. Perempuan lain, yang selama sembilan bulan menyimpan anak saya di dalam rahimnya, dan merawatnya sampai dia berumur dua tahun.
Apa Anda pernah memegang kertas baru yang bersih dan putih, yang bau harum kayunya masih tersisa? Lalu ketika Anda mencoba memasukkannya ke dalam tas, kertas putih itu menyobek jari Anda dengan pinggirannya yang rapi dan tajam. Darah keluar, pedih seperti nyala api. Seperti itulah rasanya setiap kali saya mendengar doa itu. Doa yang manis dan indah, tapi yang tidak ditujukan untuk saya.
Hari itu seperti trailer film yang tak hilang dari mata: si buyung keluar dari ruang kolong tangga penyeberangan, masuk ke pelataran Taman Rasuna, digandeng kakak dan abangnya, masing-masing berumur 18 dan 16 tahun. Si dia mengenakan pet bisbol merah-hitam dengan sulaman tulisan namanya, tubuhnya yang kecil mungil dibalut celana pendek dan t shirt polo, ditambah ransel mini kuning biru dan sepatu sandal. Tak banyak suara, hanya matanya yang bundar dan bersih menyorotkan tanya. Anak sekecil itu, dia makan pudding sendiri, dengan rapi, tanpa setitik pun tertumpah. Entah apa nama perasaan dalam dada saya ketika melihatnya. Bukan sayatan kertas baru; mungkin sayatan daun sere segar…tak terasa, tapi tangan tahu-tahu belepotan cairan merah. Begitulah imej si buyung melekat dalam benak. Bocah kecil yang pandai menahan diri.
Mulanya dia tak mau berbaring di dekat saya, malam hari bila hendak tidur. Dia memilih tempat dekat dinding, dengan ayahnya di antara dia dan saya. Lalu entah kapan ha l itu berubah. Dia tak mau lagi ayahnya di situ, dia ingin saya yang di situ, mengusap-usap punggungnya sampai dia terlelap.
Dia membuat saya menjadi seorang ibu. Pemuda kecil yang selalu bertopi dan berjaket merah, diperkenalkannya saya pada dunia pastel ibu dan anak. Karena dialah saya tahu betapa nyerinya hati bila anak kita diabaikan orang. Betapa bahagianya bila anak kita yang memimpin permainan. Betapa langit serasa runtuh bila anak kita sakit. Betapa mentari sekonyong bersinar bila sia dia bangun pagi dan langsung memanggil dan memeluk kita.
Tumpukan hal baru itulah yang membuat telinga saya mendengar doa manis tadi sebagai sembilu. Betapa pun erat dan lekat saya mendekap si buyung, ada perempuan lain yang lebih berhak untuk dialamati doa itu.
Hari-hari yang dia berikan pada saya mengurangi rasa nyeri itu. Dia lari mencari saya bila jatuh dan terluka. Dia hanya mau tidur sesudah saya membacakan cerita kesukaannya dan mengusap punggungnya. Dia hanya mau makan ikan yang saya masak. Hanya mau cebok bila saya yang menceboki. Hanya mau mandi bila saya yang memandikan. Penghiburan-penghiburan kecil yang pada saat itu membantu memplester ego saya yang terluka.
Lalu suatu pagi sesuatu mendadak masuk ke benak saya: kedua ibu dan bapakku. Saya tidak paham gramatika bahasa Arab, apakah terjemahan doa tadi memang demikian—tetapi terpikir oleh saya, barangkali terjemahan doa itu khusus ditujukan untuk anak saya: karena dia memang memiliki dua ibu dan seorang bapak. Saya tersenyum dan melihat ke arah langit, mengira akan melihat Tuhan tersenyum di sana. Hanya ada serombongan burung kuntul putih, terbang ke arah pantai Ulhee Lheue.
Selamanya saya akan merasa, bahwa dialah, si buyung, anak sulung saya. Karena segala kebaruan yang dikenalkannya pada saya adalah hadiah anak sulung pada orangtuanya. Dia masih tetap si buyung saya, yang matanya menyorotkan tanya. Walau pun sekarang rambutnya sudah bau sarang burung dan kulitnya menghitam terpanggang matahari tanah Aceh. Anakku, Athaya Akmal. Hadiah yang Sempurna. Betapa cocok nama itu untuknya. [ ]

No comments:

Post a Comment