Thursday, March 24, 2011

SKETSA TENTANG KEBUTUHAN PEREMPUAN DAN ANAK-ANAK Menanggapi pencanangan Banda Aceh sebagai Kota Ramah Gender

Setelah hidup di tiga ibukota, DKI, Jawa Barat dan Aceh, harus diakui bahwa Banda Aceh merupakan kota besar yang paling berusaha untuk membuat nyaman perempuan dan anak-anak. Upaya yang harus dihargai ini memang masih meninggalkan beberapa catatan untuk perbaikan. Tetapi sebagai langkah awal, bolehlah. Sebagai kota yang (mengaku) ramah gender, Banda Aceh masih punya peluang besar untuk memperbaiki diri menuju apa yang dicita-citakan itu.
1.     Dengan pertimbangan perbandingan luas kota dan jumlah penduduk, Banda Aceh memiliki sediaan taman kota serta taman bermain yang cukup baik. Letaknya juga cukup mudah dijangkau, dengan fasilitas yang lumayan. Beberapa catatan untuk taman kota, taman bermain serta fasilitas umum lain di Banda Aceh adalah:

1.1.Tidak ada fasilitas untuk mengganti pampers/popok di kamar kecil (di semua taman kota dan taman bermain, apalagi pasar—bahkan bandara Internasional Sultan Iskandar Muda). (Tapi yang terakhir ini Banda Aceh tak perlu minder karena bahkan Bandara Internasional Soekarno Hatta sekali pun tak memiliki fasilitas ini :D ) Anak-anak yang bermain di taman-taman ini kebanyakan diantar oleh ibunya. Banyak dari mereka yang membawa anaknya yang masih kecil, yang jelas masih mengenakan popok. Di mana mereka harus membaringkan bayi mereka untuk mengganti popok, kalau si bayi pup? Di atas rumput? Semen? Pikirin dong!
1.2.Tidak ada fasilitas penghancur pembalut wanita, bisa berfungsi juga sebagai penghancur pampers (padahal ini kota ramah gender tapi kok tidak memperhatikan kebutuhan warga?). Jadi kenapa heran kalau kolam, sungai dan bahkan laut dipenuhi pampers bekas atau bahkan pembalut bekas?
1.3.Tidak ada ruang menyusui—di seluruh taman,  pasar, rumah sakit, juga Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda sekali pun. Rumah Sakit Ibu dan Anak, yang kalau dari mereknya semestinya sangat memperhatikan kepentingan perempuan dan anak, hanya menyediakan bilik ukuran 2 m x 2 m yang disekat dengan multiboard di salah satu pojok ruang tunggu poliklinik mereka. Padahal seharusnya ruang menyusui sudah ada di dalam cetak biru Rumah Sakit seperti ini—apalagi karena di poliklinik tersebut sudah ada langkah kemajuan yang baik, yaitu adanya klinik laktasi. Tapi masakan ruang menyusuinya mirip gudang? Tak heran ibu-ibu yang datang ke poliklinik lebih memilih resiko memamerkan payudaranya dengan menyusui di bangku ruang tunggu daripada masuk ke bilik itu!
1.4.Tinggi anak tangga di taman-taman tidak standar (max 15 cm), dan tidak memperhatikan kebutuhan perempuan hamil. Kalau anda pria atau anda sedang tidak hamil, tangga begitu boleh-boleh saja. Tapi cobalah mendaki tangga setinggi 25 cm saat perut anda sedang sebesar sapi! Jago kalau bisa!
1.5.Bangku-bangku di taman kota dan taman bermain itu juga tidak ramah perempuan hamil. Semua bangku dari beton atau besi ini berdesain bench. Tidak satu pun memiliki sandaran punggung atau sandaran lengan (arm rest). Kalau anda sedang hamil, dan masih ingin mengantar si Buyung bermain di taman, anda harus membawa kursi anda sendiri karena Pemkot tidak peduli pada beban seberat 17 kg di dalam perut anda.
1.6.Alat permainan di taman-taman kota, walau pun konon ada yang dirancang oleh orang asing dan mestinya paham ergonomi, ternyata masih membahayakan bagi penggunanya (bocah-bocah balita!). Ada yang karena pembuatannya memang tidak memperhatikan standar ergonomi desain, ada yang karena maintenance yang buruk, ada juga karena alat permainan tersebut tidak mencantumkan usia minimal pengguna atau tinggi badan minimal yang dibolehkan untuk menggunakan fasilitas tersebut.
Misalnya, papan luncuran: banyak papan yang jarak dari antara titik akhir papan luncuran dengan tanah tingginya lebih dari 15 cm. Balita yang menggunakan papan luncur seperti ini minimal terancam bahaya terkilir kaki dan tangan atau patah gigi karena kaki mereka belum cukup panjang untuk menumpu tubuh saat meluncur turun ke tanah. Ada papan luncuran yang bagian atasnya berlubang, dan plastiknya mencuat tajam ke atas. Semua papan luncuran titik akhirnya berakhir pada tanah keras atau bahkan cone block/masonry, atau batu sungai—ini berlaku juga di sekolah-sekolah kindergarten(taman kanak-kanak) di seluruh kota(peraturan Depdiknas Amerika: semua playground harus beralas pasir halus atau serbuk gergaji untuk meminimalisasi kecelakaan). Bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada balita anda seandainya dia terjatuh di situ? Di Banda Aceh tidak sulit mencari pasir pantai yang berkualitas!
Ayunan: banyak yang bagian pegangannya (tali/besi yang menghubungkan dengan penopang lintang di atas) sudah kendor atau copot bautnya.
Jungle gym: tidak mencantumkan usia atau tinggi badan minimal pengguna. Anak yang tubuhnya masih kecil bisa dengan mudah terjatuh dari salah satu jungle gym tali di Taman Sari.
Kolam bola: tidak mencantumkan usia atau tinggi badan minimal pengguna—atau mencantumkan, tapi tidak dipatuhi. Akibatnya, anak berumur tiga tahun yang masih halus anggota tubuhnya bermain bersama anak 12 tahun yang sudah hampir remaja. Berhenti sejenak dan bayangkan, apa yang bisa terjadi pada anak balita itu kalau tertimpa oleh anak duabelas tahun? Kolam-kolam bola ini juga tidak secara rutin dibersihkan dan diinspeksi. Pengelola taman bermain biasanya cuek saja bila ada anak yang main sambil makan. Makanan yang terjatuh di antara bola-bola itu bisa mengundang berbagai serangga dan binatang. Kecoak masih mending; tapi bagaimana kalau yang tertarik untuk datang berpesta makan sisa ikan goreng di dasar kolam bola itu adalah kalajengking?
1.7.Tidak ada fasilitas khusus warga tunadaksa; misalnya jalan landai untuk kursi roda, wese dengan pegangan tangan, dsb)
2.     Fasilitas keamanan jalan raya adalah fasilitas yang paling tidak terperhatikan. Jangankan untuk perempuan dan anak-anak, untuk pemuda belasan tahun yang tengah kuat-kuatnya pun fasilitas itu sangat langka. Yang dimaksud dengan fasilitas keamanan di sini adalah pedestrian/trotoar, zebra cross dan penerangan. Beberapa catatan:
2.1.Trotoar di Banda Aceh hanya terdapat pada beberapa jalan besar, seperti Jalan Sultan Iskandar Muda (jalan menuju pelabuhan Ulhee Lheue, depan rumah Panglima Kodam dan Kapolda), Jalan Tengku Ujong Rimba (di depan Tamansari) , jalan Teuku Daud Beureueh (di depan Polda dan Kantor Gubernur), jalan Teuku Imeum Lueng Bata (jalan menuju Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda). Selebihnya tidak ada.
2.2.Trotoar-trotoar ini kurang memperhatikan ergonomi. Tingginya tidak standar di seluruh kota. Beberapa yang ada di Jalan Iskandar Muda (dekat Ulhee Lheue) ada yang mencapai 50 cm, tanpa anak tangga untuk turun atau naik. Sekali lagi, cobalah bawa beban seberat 17 kg di perut anda dan naik ke situ. Bisa?
2.3.Trotoar (atau sisa-sisanya) di Pasar Aceh banyak yang berlubang besar, melesak, atau sempit karena tersita barang dagangan pedagang. Yang paling berkepentingan dengan pasar adalah perempuan. Tapi justru pasar-pasar ogah memperhatikan kepentingan konsumen terbesarnya ini. Kenapa ya?
2.4. Zebra cross adalah fasilitas pengamanan yang paling minimal di jalan raya, dan ini tidak begitu umum di Banda Aceh. Mungkin karena penggunaannya pun belum memasyarakat—alias, kalau pun ada zebra cross masyarakat tetap menyeberang di mana saja semau mereka.
2.5. Penerangan jalan adalah fasilitas penting yang kurang diperhatikan. Banyak lampu jalan tidak lagi berfungsi. Akibatnya jalan jadi temaram…silakan tebak apa yang bisa terjadi di jalanan yang temaram.
3.     Pengawasan plus standar Pemkot dan Pemda terhadap segala fasilitas umum harus ditingkatkan. Misalnya untuk standardisasi keamanan angkutan umum. Kendaraan umum di Banda Aceh (labi-labi) memiliki undakan (tangga) untuk naik yang terlalu tinggi bagi perempuan hamil. Selain itu, letak pintu penumpang yang berada di belakang kabin pengemudi menyebabkan pengemudi tidak bisa memantau apakah penumpang sudah naik atau turun dengan aman (YANG NULIS PERNAH HAMPIR JATUH DARI LABI-LABI GARA-GARA PIJAKAN BELUM BETUL SOPIR SUDAH NGEBUT. DAN LUSANYA YANG NULIS MELAHIRKAN)
4.     Selain itu, ada lagi masalah yang sekaligus berkaitan dengan keamanan jalan raya, standardisasi, serta syariah. Perempuan Aceh adalah perempuan perkasa pengguna sepeda motor. Jumlah mereka setengah dari seluruh pengguna sepeda motor. Harus ada standar keamanan untuk mereka: banyak perempuan pengguna sepeda motor mengendarai motornya dengan mengenakan rok (di Meulaboh ini bahkan suatu keharusan—karena kalau anda mengenakan celana panjang anda akan dipaksa bertelanjang dulu sebelum dipinjami rok aset). Rok yang lebar sangat mungkin akan berkibar saat kendaraan melaju, dan terjepit di antara jeriji ban sepeda motor. Sedangkan rok yang sempit membuat kaki tidak dapat bergerak cepat dan bebas untuk mengantisipasi gerak motor saat berhenti atau mengerem. Selama hampir empat tahun tinggal di Banda Aceh, penulis sudah enam kali melihat perempuan yang terjatuh dari motor, tepat di tengah arus lalu lintas yang sibuk. Dan semuanya mengenakan rok! Apa tidak jadi makruh tuh, mengenakan rok saat berkendaraan motor?
5.     Soal keamanan anak-anak: perempuan-perempuan perkasa ini seringkali mempunyai peran ganda. Coba lihat motor mereka dipagi hari: banyak perempuan memboncengkan tiga anak berseragam sekaligus, ditambah bayi yang masih digendong, dan masih juga membawa bungkusan-bungkusan kue atau kerupuk dagangan  sebesar drum yang digantungkan di kanan kiri stang motor. Hanya dia yang mengenakan helm, semua anaknya termasuk yang terkecil, yang dibawa dengan gendongan bayi di dadanya, tak ada yang mengenakan helm. Beranikah anda membayangkan apa yang akan terjadi pada keluarga perkasa ini kalau mereka terserempet jatuh? Atau melintasi polisi tidur yang terlalu tinggi (yang cukup banyak di Banda Aceh sini)? Lalu bagaimana kalau ibunya harus mengenakan rok karena takut melanggar Perda? Kalau penulis jadi polisi lalu lintas dia pasti akan sering membuat surat tilang! Pertanyaan lain: suaminya kemana ya? Kok anaknya dia semua yang urus??
6.     Kota ramah gender akan berusaha agar warganya yang perempuan merasa nyaman di tempat umum. Takkan ada anak gadis yang merasa risih dan takut karena digoda setiap kali belanja di pasar—padahal ibunya ada bersamanya. Sampai ibunya terpaksa jadi preman yang harus menegur dengan suara sangat besar semua pemuda bahkan non pemuda yang mencoba mencolek anaknya. Harusnya masukkan saja sebagai Perda Syariah—jangan terus menerus memojokkan perempuan dengan menyuruh ini itu, harus berjilbablah, pakai roklah, ini itulah. Sekali-sekali suruh warga yang laki-laki yang menahan mata dan lidah, karena perempuan yang berada di tempat umum itu tidak berarti dia itu milik umum! Kenapa kok punya wajah menarik seolah jadi hukuman bagi perempuan? Kan aneh!
7.     Hak beristirahat, mendapat pengakuan, upah dan “jam kerja yang wajar”: sudah penulis ulang beberapa kali, perempuan Aceh adalah perempuan perkasa. Pagi hari memasak, membersihkan rumah, menyusui dan menyuapi bayi, mengantar anak ke sekolah, mengantarkan dagangan, mencuci pakaian, menyeterika, menjemput anak pulang sekolah, mengantar membeli keperluan sekolah, menemani membuat pekerjaan rumah, datang ke sekolah mengambil rapot atau bila dipanggil wali kelas, ke pasar, sorenya memasak dagangan, memandikan anak, memastikan anak-anaknya aman, tidak ada yang digigit semut atau disosor angsa, memenuhi kewajiban kegiatan sosial dari kantor suami atau dari gampong, malamnya masih memenuhi kewajiban sebagai istri, pagi buta bangun lagi untuk mandi besar, sembahyang subuh, menyiapkan sarapan dan dagangan yang akan dibawa…istirahatnya kapan?
Sebuah survey di Amerika mengatakan bahwa rata-rata ibu rumah tangga hanya memperoleh 45 menit untuk istirahat, setiap harinya. Itu di Negara maju dan kaya raya. Jangan-jangan di sini waktu yang 45 menit itu masih terpotong lagi 30 menit untuk memasak timphan. Jadi tinggal 15 menit!
Semua perempuan itu pasti bekerja keras macam kuda begitu berdasarkan kasih sayang dan keikhlasan. Tapi tentu harus ada keadilan juga untuk mereka. Seharusnya ada perangkat yang bisa mengatur hak perempuan untuk mendapatkan istirahat yang cukup. Itu minimalnya. Lebih baik lagi bila perempuan-perempuan perkasa ini mendapat perlindungan dan hak pekerja, misalnya. Mungkin semacam asuransi yang harus diikuti oleh setiap suami yang istrinya punya pekerjaan domestik :D. Afterall, pembantu rumah tangga saja digaji dan ada jam kerjanya, bukan?
8.      

No comments:

Post a Comment